Bagaimana Keluarga Menghadapi Anak yang Suka Maksiat?
BAGAIMANA KELUARGA MENGHADAPI ANAK YANG SUKA MAKSIAT
Pertanyaan.
Sejumlah orang tua berpendapat bahwa kewajiban orang tua selesai dengan menjelaskan perkara halal dan haram kepada anak-anak mereka, setelah itu pilihan diserahkan kepada sang anak. Sebagian orang tua lagi berpendapat bahwa jika sang anak telah memasuki usia balig (usia 13-18 tahun), maka kewajiban orang tua terhadap anaknya selesai. Mohon penjelasan, apakah orang tua dengan berbagai cara berkewajiban mencegah anak-anaknya melakukan perbuatan haram atau cukup baginya hanya memberikan penjelasan dan kemudian sang anak bertanggung jawab atas dosa yang dia perbuat? Apakah hal ini dibenarkan? Mohon penjelasannya.
Jawaban
Alhamdulillah.
Pertama: Dalam beberapa jawaban, kami telah menyebutkan adanya tanggung jawab yang besar di pundak para ayah terhadap anak-anak mereka. Tidak cukup hanya menjelaskan dan mengajarkan, tapi juga dengan memberikan pengajaran dan pembinaan, merawat dan memperhatikan dengan berbagai cara yang memungkinkan bagi kedua orang tua.
Jika ditakdirkan salah seorang anak, baik laki maupun perempuan. Sang anak melakukan perbuatan yang bertentangan dengan syariat atau melakukan perbuatan yang diharamkan, atau dia durhaka kepada kedua orang tua, maka hendaknya sang anak menambah kesungguhnya dalam memberikan petunjuk kepada mereka, kadang dengan memberikan harapan, atau kadang dengan memberikan ancaman, atau dengan meminta orang yang dipercaya seperti guru atau kerabat untuk memberikan arahan dan nasehat kepadanya. Begitu pula kedua orang tua diperintahkan untuk selalu mendoakan tanpa bosan agar anaknya yang suka maksiat mendapatkan hidayah.
Ulama yang tergabung dalam Lajnah Da’imah ditanya, “Aku beritahukan bahwa aku sudah tua usia, sedangkan aku memiliki dua anak kembar yang sedang belajar di kelas 2 SMP. Aku ingin agar keduanya menjadi istiqomah dan suka pergi ke masjid untuk menunaikan shalat berjamaah. Hanya saja kedunya kadang enggan melakukan hal itu dan aku selalu mendoakan untuk kebaikan keduanya. Apakah cara yang mungkin dapat dilakukan untuk memperbaiki keduanya? Saya sudah memberi tahu masalah ini ke pihak sekolah. Semoga Allah melindungi dan memelihara kalian.
Mereka menjawab: “Kami nasehatkan anda untuk terus menasehati anak-anak anda, jangan putus asa, gunakan berbagai cara yang bermanfaat untuk mendidik dan mengarahkan mereka. Kadang dengan imin-iming, kadang dengan ancaman. Tumbuhkan rasa cinta kepada Allah dan Rasul-Nya di hati mereka, jauhkan mereka dari teman yang buruk dan timbulkan kesukaan bergaul dengan orang-orang saleh dan peringatkan mereka dari sarana-sarana media yang merusak. Sebelum dan sesudahnya, banyak-banyak memohon kepada Allah untuk kebaikan mereka, inilah pujian yang Allah berikan kepada orang-orang saleh sebagaimana dalam firman-Nya,
وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا (سورة الفرقان: 74)
“Dan orang orang yang berkata: “Ya Tuhan Kami, anugrahkanlah kepada Kami isteri-isteri Kami dan keturunan Kami sebagai penyenang hati (Kami), dan Jadikanlah Kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.” [Al-Furqan/25: 74]
Syekh Abdul Aziz Alu Syekh, Syekh Abdullah bin Gudayyan, Syekh Saleh Al-Fauzan, Syekh Bakar Abu Zaid [Fatawa Lajnah Daimah, 25/288]
Sebagaimana anda ketahui, apa yang telah disebutkan para ulama telah jelas bahwa merupakan kewajiban orang tua memperhatikan pendidikan dan pengajaran terhadap anak-anaknya serta mencegah mereka dari kemunkaran dan tidak memberikan peluang kepada mereka untuk melakukannya. Ini bukan sikap ekstrim terhadap suatu masalah. Namun dianjurkan untuk bersikap lembut terhadap anak-anak yang berbuat maksiat, gunakan berbagai cara untuk memberikan arahan dan nasehat kepada mereka, betapapun maksiat yang telah mereka lakukan, tetaplah mereka bagian dari keluarga yang tidak mungkin kita singkirkan.
Kedua: Kapan tanggung jawab keluarga selesai terhadap anak-anak mereka?
Para ulama membagi masalah ini antara anak laki-laki dan anak perempuan. Jumhur ulama berpendapat bahwa perwalian orang tua terus berlangsung terhadap anak wanita hingga mereka berkeluarga.
Disebutkan dalam Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah (8/204-205).
Menurut mazhab Hanafi : Perwalian seorang bapak terhadap anak perempuan berakhir setelah sang anak sudah berusia tua dan memiliki pandangan. Dia dapat tinggal dimana yang dia sukai dan tidak ada kekhawatiran padanya. Jika dia seorang janda, dia tidak tinggal bersamanya, kecuali jika dikhawatirkan terhadap dirinya. Dia boleh tinggal bersama bapak dan kakeknya, bukan kepada selain keduanya sebagaimana awalnya.
Perwalian sang bapak terhadap anak berakhir ketika sang anak sudah masuk usia balig dan mandiri dalam pendapatnya, kecuali jika sang anak masih dikhawatirkan terhadap dirinya, misalnya dia suka merusak dan menakut-nakuti. Maka seorang bapak dapat memintanya untuk tinggal bersamanya untuk menghindari musibah dan nama buruk serta mendidiknya jika terjadi sesuatu padanya.
Menurut mazhab Maliki, perwalian seseorang berakhir terhadap seseorang apabila sang anak mencapai usia balig yang normal, yaitu apabila dia telah menikah. Ketika itu dia boleh pergi kemana saja, akan tetapi jika dikhawatirkan terjadi gangguan padanya, karena cantik/tampannya, atau jika dia selalu ditemani orang-orang jahat yang selalu mengajarkan akhlak tercela kepadanya, hendaknya sang anak tetap tinggal bersamanya hingga sang anak lurus prilakunya.
Jika anak laki-laki telah dewasa, dia boleh pergi kemana saja dia mau, karena hak mencegahnya sudah tidak berlaku. Jika anak laki-laki telah balig, walaupun dia gila dan idiot, maka kewajiban merawat bagi seorang ibu telah gugur, menurut pendapat yang masyhur.
Adapun jika dia anak perempuan, maka perawatan masih terus menjadi kewajiban ibu sampai anak perempuan itu menikah dan digauli suaminya.
Sedangkan menurut mazhab Syafii, perwalian berakhir terhadap anak kecil apabila dia sudah masuk usia balig, baik laki-laki maupun perempuan.
Sedangkan menurut mazhab Hambali: Kewajiban merawat hanya berlaku terhadap anak kecil atau kalau dia cacat. Adapun jika anak sudah balig dan dewasa, maka tidak ada kewajiban merawatnya. Jika dia seorang laki-laki, maka dia boleh tinggal sendiri karena dia sudah mandiri. Jika dia anak wanita, dia tidak boleh tinggal sendiri, dan bapaknya berhak melarangnya, karena dia tidak aman ada orang yang akan mengganggunya dan kemudian menimbulkan aib bagi dirinya dan keluarganya. Jika dia tidak memiliki bapak, maka walinya atau keluarganya mencegahnya untuk tinggal di luar.” Selesai
Pandangan para ulama nyaris sepakat bahwa tanggung jawab keluarga terhadap anak perempuannya adalah sampai dia masuk usia balig, di antara mereka ada yang membatasi akhir tanggungjawab orang tuanya hingga dia menikah, karena ketika itu sudah ada pihak yang bertanggung jawab atasnya. Di antara mereka ada yang menetapkan syarat harus berada di tempat aman dan tidak ada sesuatu yang mengkhawatirkan atasnya. Pemisahan antara laki dan wanita sangat jelas dari pandangan para ulama. Sisi yang sama antara anak laki dan perempuan adalah jika tidak merasa aman apabila mereka tinggal sendiri atau dikhawatirkan adanya pergaulan yang merusak atau dia tidak dapat bertindak dengan baik, maka tanggung jawab keluarga tetap berlaku dan bersambung, tidak terputus, walaupun mereka telah melewati usia balig.
Dalam fatawa Nurun ala-Darb, Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata : “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah menjadikan seorang laki-laki sebagai penanggung jawab di rumahnya, beliau mengabarkan bahwa mereka bertanggung jawab atas orang-orang yang dipimpinnya. Beliau tidak membatas hingga usia berapa. Selama dia mampu mengurus rumah tangganya, maka dia memiliki kewajiban untuk merawat anaknya, dan dia akan ditanya tentang kondisi keluarganya.”
Ketiga: Berbagai kemungkaran yang dilakukan anak-anak di dalam rumah tidak boleh didiamkan, tapi hendaknya dia diberi nasehat dan diarahakan kepada kebaikan. Tidak pantas kedua orang tua mendukung pelaku kemungkaran atas perbuatannya, seperti memberinya uang agar dia dapat membeli sesuatu yang diharamkan, atau memberinya fasilitas agar dia mudah melakukannya. Tapi kedua orang tua boleh mendiamkannya atau tidak melakukan sesuatu tindakan jika akibatnya adalah anak kabur dari rumah. Jika tindakan mereka diperkirakan akan berdampak buruk lebih besar dan lebih banyak dari kemaksiatan itu sendiri, maka kedua orang tua boleh mendiamkan anak-anak yang mendengarkan musik, atau melihat sesuatu yang diharamkan, khawatir jika dia melakukan tindakan tertentu, hal itu menyebabkan sang anak kabur dari rumah sehingga menyebabkan dia melakukan maksiat lebih besar lagi jika dirinya berada di luar rumah. Sebagaimana diketahui bahwa anak yang kabur dari rumah, akan lebih leluasa melakukan apa yang tidak boleh dia lakukan di dalam rumah, maka dengan demikian, problem yang diakibatkan oleh sang anak durhaka tersebut akan semakin bertambah.
Bahkan seandainya pun hal tersebut tidak menyebabkannya kabur dari rumah atau terisolir, banyak di kalangan anak-anak yang di rumahnya dilarang menyaksikan televise atau mendengarkan nyanyian di dalam rumah, sementara Allah belum memberi hidayah dalam hatinya dan melapangkan dada untuk menerimanya, maka ketika itu tidak ada yang mengontrol prilakunya dan tentu saja menjadi kesempatan timbulnya kerusakan yang berlipat-lipat.
Ketika itu, jika orang tua merasa tidak mampu meluruskan kondisi anaknya dan mencegahnya dari kebiasaan menonton televisi atau lainnya, maka demi kemaslahatan, dia boleh mengabaikan sebagian dari apa yang dilakukan anak-anaknya, untuk menghindari kemunkaran yang lebih besar akibat pelarangan yang dia lakukan.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiah rahimahullah berkata, “Sesungguhnya, perintah dan larangan, jika mengandung kebaikan dan menolak keburukan, hendaknya dilihat dampaknya, jika ternyata kebaikan yang hilang atau kerusakan yang datang lebih besar, hendaknya tidak diperintahkan, bahkan bisa jadi hal tersebut diharamkan jika keburukannya lebih besar dari kebaikannya.” [Majmu Fatawa, 28/129]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiah langsung menerapkan perkara tersebut secara praktis. Beliau berkata, “Suatu saat, saya dan beberapa orang sahabat saya pada masa Tatar, melewati sebagian mereka yang sedang minum khamar. Salah seorang yang bersamaku mengingkari perbuatan tersebut, namun aku mengingkarinya. Aku katakan kepadanya, “Sesungguhnya Allah mengharamkan khamar karena dia mencegah seseorang dari berzikir kepada Allah dan shalat, tapi bagi mereka, khamar mencegah mereka dari membunuh orang lain, menculik dan merampas harta, biarkan mereka.” [Dikutip oleh Ibnu Qayim dalam I’lam Al-Muwaqqiin, 3/5]
Demikian pula hendaknya dikatakan jika melihat kondisi putra putri kita. Sesunggunya, jika mereka kabur dari rumah, tidak diragukan lagi bahwa hal tersebut akan mengundang kemunkaran lebih besar dan lebih berat dari sebelumnya, karena akan terbuka peluang lebih besar baginya kemungkaran yang jauh dari pengawasan keluarga. Maka hendaknya kepada setiap orang tua untuk memperkirakan masalah ini, kalau tidak, kerugiannya akan sangat berat.
Wallahua’lam.
Disalin dari islamqa
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/2966-bagaimana-keluarga-menghadapi-anak-yang-suka-maksiat.html